Friday, 1 August 2025

Melepas Amarah, Ikhlas Memaafkan



Tak ada manusia yang tak pernah dilukai, dikhianati, atau dikecewakan. Di dunia ini, luka hati kerap datang tanpa permisi. Namun, apakah harus terus kita bawa dalam dada? Apakah amarah harus menjadi teman setia dalam langkah hidup? Sesungguhnya, ada jalan lebih lapang, lebih terang: memaafkan dengan ikhlas. Melepaskan amarah bukan kelemahan, melainkan kekuatan sejati.


Dalam perjalanan hidup yang tak lepas dari ujian dan interaksi sosial, amarah sering kali muncul tanpa disangka. Ada yang memicu dari luar, ada pula yang disulut dari luka batin terdalam. Tetapi satu hal yang pasti: menyimpan amarah terlalu lama akan melukai diri sendiri lebih dalam daripada siapa pun yang kita marahi.


Nabi Muhammad ﷺ bersabda:


لَا تَغْضَبْ

"Jangan marah."

(HR. al-Bukhari no. 6116)


Kalimat itu pendek, namun penuh makna. Tatkala seorang sahabat meminta nasihat kepada Rasulullah ﷺ, beliau tak berkata panjang lebar. Hanya tiga kata, yang diulang hingga tiga kali: “La taghdhab”, jangan marah. Mengapa?


Karena marah membuka pintu pada semua kerusakan. Dari marah lahir dendam. Dari dendam lahir fitnah. Dari fitnah lahir permusuhan yang mengoyak ukhuwah dan kasih sayang antarmanusia.


Dalam Al-Qur'an, Allah memuji orang-orang yang mampu menahan amarah:


وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran: 134)


Memaafkan tidak sama dengan mengabaikan kesalahan. Ia adalah pilihan sadar untuk tidak membiarkan keburukan orang lain merusak kedamaian dalam diri kita. Memaafkan adalah keputusan hati untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan.


Amarah yang dipelihara akan berubah menjadi penyakit hati yang mematikan, seperti dendam, iri hati, bahkan kebencian yang tidak berkesudahan. Padahal, hati yang dipenuhi penyakit tak akan mampu menerima cahaya hidayah.


Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Amarah ibarat anjing liar. Jika dibiarkan, ia akan menggigit siapa pun, termasuk tuannya sendiri.”


Bukankah lebih baik kita lepaskan genggaman bara itu? Sebab seperti dalam kutipan bijak yang banyak dinisbatkan kepada Buddha:


"Memendam amarah sama seperti menggenggam bara api dengan niat untuk melemparkannya pada orang lain; Andalah yang pertama terbakar."


Maka kendalikanlah. Jangan tunggu reda, tetapi redakan dengan kesadaran. Bukan untuk mereka tapi untuk kita sendiri.


Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:


مَنْ كَظَمَ غَيْظًا، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللَّهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ، حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ الْحُورِ مَا شَاءَ

"Barang siapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat dan mempersilakan ia memilih bidadari mana pun yang ia kehendaki." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)


Lihatlah betapa besar ganjaran orang yang mampu menguasai dirinya. Bahkan surga disiapkan untuk mereka yang ringan memaafkan, yang tak menyimpan dendam, dan yang melangkah dengan lapang dada.


Sering kali, kita merasa berat memberi maaf karena merasa direndahkan, karena merasa benar sendiri. Tapi justru di situlah keindahan hati diuji. Allah ﷻ berfirman:


فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

"Barang siapa memaafkan dan memperbaiki (hubungan), maka pahalanya di sisi Allah." (QS. Asy-Syura: 40)


Bayangkan: pahala itu tak dihitung manusia, tapi langsung dijamin oleh Allah.


Memaafkan tidak akan membuatmu kalah. Memaafkan adalah kemenangan hati. Bukan hanya menenangkan jiwa, tapi juga mengundang keberkahan dalam hidup. Bahkan, dalam banyak kisah para ulama terdahulu, mereka tidak tidur sebelum memaafkan semua orang yang menyakitinya hari itu. Itulah rahasia keberkahan umur dan ilmu mereka.


Ketika kita ikhlas memaafkan, bukan hanya hati yang lapang, tetapi pintu-pintu pertolongan Allah pun terbuka. Sebab Allah menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. Dan menolong dalam bentuk maaf, kadang lebih berat daripada bantuan materi.


Memaafkan bukan tentang melupakan, tetapi tentang melepaskan. Melepaskan beban masa lalu agar kita bisa berjalan lebih ringan menuju masa depan. Bukan berarti kita membenarkan kesalahan orang lain, tapi karena kita lebih mencintai kedamaian daripada kekacauan batin.


Dan ingatlah, sebagaimana kita ingin Allah mengampuni kesalahan kita, maka kita pun harus mau mengampuni sesama.


وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nur: 22)


Betapa indahnya dunia jika lebih banyak hati yang mudah memaafkan. Tak perlu semuanya sempurna. Cukup menjadi pribadi yang tidak menyimpan luka lebih lama dari yang seharusnya. Biarkan apa yang pahit berlalu, dan simpan yang manis sebagai pelajaran.


Mari kita buka lembar baru dalam kehidupan. Jangan penuhi hari-hari dengan kebencian dan sakit hati. Dunia ini terlalu sempit untuk menampung dendam. Sebaliknya, dunia akan terasa lebih luas bila kita isi dengan cinta dan ketulusan.


Semoga Allah menganugerahkan kepada kita hati yang bersih, jiwa yang sabar, dan lisan yang ringan untuk berkata: “Aku memaafkanmu karena Allah.” Sebab di situlah letak kemuliaan yang sejati.


“Jika kita mengikhlaskan diri kita, kita akan merasakan suka cita. Jika kita mengikhlaskan yang kita punya, Allah akan menggantinya berlipat ganda. Jika kita memaafkan orang lain, kita akan merasakan ketenangan dan kedamaian jiwa.”


Ya Allah, karuniakan kami hati yang ikhlas, sabar, dan mudah memaafkan. Aamiin.

No comments:

Post a Comment

Rahasia Kesehatan Wanita Ada di Dalam Dirinya

 #InfoBPGroup  Kesehatan wanita sesungguhnya dimulai dari dalam — dari keseimbangan hormon, daya tahan tubuh, hingga energi yang stabil dite...