Tidak bisa kita pungkiri bahwa tidur setelah subuh adalah kegiatan yang untuk sekarang mungkin banyak kita lakukan. Mengantuk setelah sahur. Jam tidur berkurang. dan berbagai alasan lain yang menyebabkan kita memilih tidur setelah subuh. Bagaimana sebenarnya kegiatan ini dalam Islam?
Kita akan bahas dalam tulisan berikut ini. Saya tidak melakukan perubahan apa pun pada tulisan berikut. Karena demikian izin yang diberikan adalah membaginya. Saya tertarik untuk menyampaikannya karena tidur setelah shalat subuh mungkin menjadi hal yang banyak dilakukan sekarang. Terlebih pada bulan Ramadan ini.
Bagi ibu-ibu dan emak-emak barangkali tidak melakukannya karena begitu pagi aktivitas lainnya mengikuti. Mencuci piring, bersih-bersih sampai pada persiapan kegiatan anak dan suami membuat ibu dan emak-emak cenderung tidak melakukannya. Nah yang benar seperti apa? Dilakukan atau tidak dilakukan?
Mari kita simak pembahasannya pada tulisan berikut ini. Sebuah tulisan yang disusun oleh dr. Raehanul Bahraen. Selamat membaca. Semoga menjadi pencerahan untuk kita semua.
Langsung tidur setelah shalat subuh ternyata tidak dianjurkan dalam Islam dan beberapa ulama menjelaskan hukumnya adalah makruh (jika tidak ada udzur dan keperluan). Selain itu, kurang baik juga untuk pola hidup yang sehat. Setelah subuh adalah waktu turunnya berkah dan rezeki, jika tidur maka tidak mendapatkan berkah ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” [1]
Beberapa ulama menjelaskan hukumnya adalah makruh. Urwah bin Zubair berkata,
كان الزبير ينهى بنيه عن التصبح ( وهو النّوم في الصّباح )
“Zubair bin Awwam melarang anaknya tidur setelah subuh.”[2]
Jika berbicara tentang “berkah” terkadang tidak masuk logika dan hitungan matematika. Mungkin ada yang bilang:
“Saya sering tidur setelah subuh (bahkan kelewatan shalat subuh), tapi rezeki saya lancar”
Jawabnya: walaupun secara hitungan rezekinya banyak, tetapi belum tentu berkah. Belum tentu ia qonaah dan bahagia dengan banyaknya hartanya. Bisa jadi banyak ia dapat, banyak juga ia keluarkan dalam hal yang tidak bermanfaat. Atau hartana “dibuang-buang” oleh anaknya dan keluarganya dalam hal maksiat dna dosa.
Sebaiknya jangan tidur setelah subuh karena waktu itu juga turunya rezeki dan berkah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata,
وَنَوْمُ الصُّبْحَةِ يَمْنَعُ الرِّزْقَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ وَقْتٌ تَطْلُبُ فِيهِ الْخَلِيقَةُ أَرْزَاقَهَا، وَهُوَ وَقْتُ قِسْمَةِ الْأَرْزَاقِ، فَنَوْمُهُ حِرْمَانٌ إِلَّا لِعَارِضٍ أَوْ ضَرُورَةٍ،
“Tidur setelah subuh mencegah rezeki, karena waktu subuh adalah waktu mahluk mencari rezeki mereka dan waktu dibagikannya rezeki. Tidur setelah subuh suatu hal yang dilarang [makruh] kecuali ada penyebab atau keperluan.”[3]
Bahaya pola tidur setelah subuh secara medis
Secara medis, pola tidur setelah subuh kurang sehat. Perlu diingat yang namanya pola hidup tidak sehat, bukan sekarang akibatnya, tetapi akumulasi dan akan terasa ketika usia mulai menua karena pola hidup yang tidak sehat. Sebagaimana para perokok yang mengaku:
“Saya perokok tetapi masih kuat nih olahraga, masih sehat kok”
jawabnya: nanti kita lihat ketika ia sudah akan tua, banyak keluhan kesehatan bagi perokok ketika sudah tua.
Tidur setelah subuh tidak baik untuk kesehatan, karena saat itu adalah jam tubuh mulai melakukan metabolisme dan pemanasan. Jika tertidur lagi maka ibarat kendaraan yang tidak melakukan pemanasan. Ketika bangun jam 7 atau jam 8 pagi terasa masih lemas dan kurang bersemangat.
Tidur setelah subuh kurang sehat sebagaimana dijelaskan oleh ulama yang juga seorang dokter, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau berkata,
وَهُوَ مُضِرٌّ جِدًّا بِالْبَدَنِ لِإِرْخَائِهِ الْبَدَنَ وَإِفْسَادِهِ لِلْفَضَلَاتِ الَّتِي يَنْبَغِي تَحْلِيلُهَا بِالرِّيَاضَةِ
“Tidur setalah subuh sangat berbahaya bagi badan karena melemahkan dan merusak badan karena sisa-sisa [metabolisme] yang seharusnya diurai dengan berolahraga/beraktifitas.”[4]
Jika bergadang sebelumnya dan perlu tidur, diusahakan tidur setelah terbit matahari
Setelah begadang semalaman, tidurnya (untuk balas) tidak langsung setelah subuh, tetapi setelah terbit matahari sekitar jam 6 pagi atau jam 6.30 (waktu Indonesia).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
ومن المكروه عندهم : النوم بين صلاة الصبح وطلوع الشمس فإنه وقت غنيمة ….حتى لو ساروا طول ليلهم لم يسمحوا بالقعود عن السير ذلك الوقت حتى تطلع الشمس
“Di antara yang tidak disukai adalah tidur antara shalat pagi dan ketika matahari terbit, karena tidur pada waktu itu kurang baik…. sampai-sampai jika seseorang berjalan (safar) sepanjang malam, mereka tidak diizinkan untuk duduk (tidur dan istirahat) sampai terbit matahari.”
Beberapa ulama yang cukup sibuk melakukan seperti ini, mereka tidur sebentar setelah terbit matahari kemudian berangkat kerja dan mengajar.
Tips agar tidak tidur lagi setelah shalat subuh
Memang godaan tidur setelah subuh “luar biasa” dan “berat” bagi mereka yang tidak biasa. Ini hanya “masalah kebiasaan” saja. Kunci utama merubah asaan adalah: “Mencari kegiatan setelah shalat subuh, jika bisa jangan kegiatan sendiri”
Misalnya:
- Belajar setelah shalat subuh di masjid
- Memasak setelah shalat subuh
- Jalan-jalan dengan anak-anak
Hendaknya kita punya kegiatan setelah subuh, seperti membaca atau menghapal Al-Quran dengan suara yang agak dibesarkan, menghapal hadist, berdzikir pagi-petang, menghapal doa-doa keseharian, setoran hapalan.
Namun ada juga yang mengaji atau berdzikir lama-kelamaan ketiduran, maka handaklah kita mencari kegiatan yang melibatkan orang banyak. Misalnya saling setoran hapalan dengan beberapa orang dimasjid, mengikuti majelis ilmu ba’da subuh dimasjid, belajar membaca dan memperbaiki Al-Quran.
Sangat tepat apa yang diucapkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil”[5]
Bisa juga faktor maksiat yang sering dilakukan dan belum bertaubat
Bangun shalat subuh juga kebiasaan, jika berat dan susah bangun mungkin faktor kebiasaan atau ada maksiat yang dilakukan sehingga susah melakukan ibadah shalat subuh.
Bisa sering begadang Atau dan karena ada kemaksiatan yang baru-baru dilakukan terus-menerus tanpa istigfar sehingga badan susah melakukan ketaatan, dan hati berat untuk dibawa beribadah. Sehingga yang sebelumnya kita bangun ketika adzan berkumandang, sekarang hati mulai keras dan telinga sudah tidak peka lagi dengan suara adzan, badanpun berat dibawa untuk menjawab panggilan masjid.
Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي الْقُرْآنِ: كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
”Sesungguhnya seorang mukmin, jika melakukan satu perbuatan dosa, maka ditorehkan di hatinya satu titik hitam. Jika ia bertaubat, berhenti dan minta ampun, maka hatinya akan dibuat mengkilat (lagi). Jika semakin sering berbuat dosa, maka titik-titik itu akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah” raan” yang disebutkan Allah ta’ala,
“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah” raan” yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an”.[6]
Ada yang manjadikan salah satu indikator hatinya mulai mengeras adalah susah bangun shalat subuh. Untuk selevel ulama salah mereka menjadikan susahnya shalat malam sebagai salah satu indikator hati mereka mulai mengeras.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah beliau berkata,
حرمت قيام الليل خمسة أشهر بذنب أذنبته
“Selama lima bulan aku terhalang untuk melakukan shalat malam karena dosa yang aku lakukan.”[7]
Jika ada yang berkata, “saya bermaksiat setiap hari, tapi nanti malam saya bisa bangun malam jika saya mau”. Maka kita katakan bahwa, hatinya sudah tidak peka lagi mendeteksi maksiat. Hati para ulama cukup bersih sehingga sangat peka terhadap maksiat. Ibarat tubuh yang sehat akan terasa jika ada sakit sedikit.
Demikian semoga bermanfaat.
[1] HR. Abu Daud no. 2606. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud
[2] HR. Ibnu Abi Syaibah 5/222
[3] Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad 4/222, Muassah Risalah, Beirut, cet. Ke-27, 1415 H
[4] Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad 4/222, Muassah Risalah, Beirut, cet. Ke-27, 1415 H
[5] Al Jawabul Kaafi hal 156, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah
[6] HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani
[7] Qiyaamul Lail, Fadhluhu wa Aadaabuh Reserved.
▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️
Sumber tulisan: www.muslimafiyah.com
📡 Silakan disebar Artikel ini dengan tidak menambah dan mengurangi isi tulisan dan yang berkaitan dengannya