_Serial Fiqih Pendidikan Anak - No: 213_
Anak-anak adalah makhluk yang masih dalam proses tumbuh dan berkembang. Akal mereka belum matang, daya ingat mereka terbatas, dan cara berpikir mereka belum mampu memahami segala sesuatu sebagaimana orang dewasa. Inilah yang dipahami betul oleh Nabi Muhammad _shallallahu ‘alaihi wasallam,_ hingga beliau sangat bijak dalam menyikapi realita ini.
Berikut ringkasan dalam tiga poin utama tentang cara menyikapi keterbatasan akal anak:
1. Pahami bahwa anak belum sempurna akalnya.
Ketika Anas bin Malik—yang masih kecil saat itu—diberi tugas oleh Nabi _shallallahu ‘alaihi wasallam,_ lalu lalai atau lupa, beliau tidak memarahinya. Bahkan jika ada anggota keluarga Anas yang ingin menghukumnya, Nabi _shallallahu ‘alaihi wasallam_ justru mencegah dan bersabda,
«دَعُوهُ، فَلَوْ قُدِّرَ أَنْ يَكُونَ كَانَ»
“Biarkanlah dia, seandainya ditakdirkan, itu tentu telah terjadi.” HR. Ahmad (no. 13418) dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban serta al-Albaniy.
Beliau tidak melihat kelalaian anak sebagai sesuatu yang pantas dihukum, melainkan sebagai bagian wajar dari keterbatasan akal mereka.
2. Bersikap lembut dan tidak menghukum secara keras.
Suatu hari, Nabi _shallallahu ‘alaihi wasallam_ menyuruh Anas untuk suatu keperluan. Anas awalnya menolak, tapi hatinya merasa bersalah. Di tengah jalan, ia malah ikut bermain dengan anak-anak lain. Nabi _shallallahu ‘alaihi wasallam_ tidak langsung menegur atau memarahi. Beliau mengikuti dari kejauhan, lalu memegang tengkuk Anas dari belakang dan bersabda sambil tertawa,
«يَا أُنَيْسُ أَذَهَبْتَ حَيْثُ أَمَرْتُكَ؟»
“Wahai Anas kecil, apakah engkau telah pergi sesuai perintahku?”. HR. Muslim (no. 2310).
Tidak ada amarah, hanya sapaan penuh kasih yang membuat hati luluh. Sikap lembut ini menunjukkan bahwa Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_ tidak menuntut kesempurnaan dari anak-anak. Beliau tidak memperlakukan kekeliruan mereka seperti kesalahan orang dewasa.
3. Sesuaikan tuntunan dengan kemampuan berpikir anak.
Setiap anak memiliki tingkat pemahaman dan daya pikir yang berbeda-beda, tergantung usia, pengalaman, dan lingkungan tumbuh kembangnya. Maka, saat menyampaikan ajaran atau nasihat kepada anak, kita perlu memperhatikan sejauh mana anak mampu memahami informasi tersebut.
Jangan memberikan beban atau pertanyaan di luar kapasitas akalnya. Justru arahkan secara bertahap dan mudah dipahami. Contohnya, Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_ pernah ingin mengetahui jumlah pasukan musuh saat menjelang perang. Nabi _shallallahu ‘alaihi wasallam_ bertemu dua anak, maka beliau bertanya,
«كَمْ يَنْحَرُونَ مِنَ الْجُزُرِ؟»
“Berapa ekor unta yang disembelih setiap hari untuk makan mereka?”. HR. Ahmad (no. 948) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.
Anak-anak tentu dapat menjawab pertanyaan semacam itu, karena mereka sering menyaksikan langsung peristiwa penyembelihan unta di perkemahan. Mereka pun menjawab bahwa pasukan musuh menyembelih sekitar 10 ekor unta setiap hari. Dari informasi sederhana ini, Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_ menghitung dengan cermat: jika satu ekor unta cukup untuk memberi makan sekitar 100 orang, maka jumlah pasukan musuh diperkirakan sekitar 1.000 orang.
Sumber: Ustqdz Abdullah Zein
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 25 Muharram 1446 / 21 Juli 2025
No comments:
Post a Comment