“DIA berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.’” *(Q.S. Al-Fajr: 24).*
Makna ayat di atas adalah bahwa akan ada suatu golongan manusia yang menyesal di akhirat hanya karena kebiasaan menunda-nunda dalam beramal kebaikan (berbuat baik). Itulah penyakit berbahaya yang sengaja digunakan iblis dalam menghadang manusia untuk taat dan bertobat kepada Allah.
“Iya nanti sajalah,” demikian yang dikatakan oleh seseorang dalam rangka menunda-nunda pekerjaaan atau amalan. Padahal, amalan tersebut masih bisa dilakukan saat itu juga. Perkataan “nanti sajalah” dalam rangka menunda-nunda kebaikan, ini adalah bagian dari “tentara-tentara iblis”.
Memang, di antara kita ada kebiasaan menunda-nunda suatu amal atau aktivitas karena rasa malas. Misalnya, menunda-nunda untuk belajar. Rasanya hampir semua orang suka, atau setidaknya pernah menunda menyelesaikan pekerjaannya.
Apa-apa dan segala urusan sukanya main tunda. Sedekah nanti saja kalau sudah kaya. Banyak lagi perkara ibadah dan amal salih yang hobinya ditunda tunda.
Itulah sebabnya, seyogianya kita berhati-hati dengan sikap menunda-nunda. Sebab, kita sekarang berada di hari ini dan bukan berada di hari besok.
Jika besok tiba, kita berada di hari tersebut dan sekarang kita masih berada di hari ini. Jika hari besok tidak menghampiri kita, maka janganlah kita sesali atas apa yang luput dari kita di hari ini.
Sejatinya, penundaan dalam beramal adalah simbol kebodohan seseorang. Disebut bodoh karena seseorang telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang, padahal bisa jadi dalam menunggu waktu luangnya itu ajal menjemputnya. Atau bisa saja justru kesibukannya semakin bertambah karena yang namanya kesibukan dunia akan terus menumpuk karena selalu berkaitan antara satu dengan lainnya.
Bahkan, sering terjadi pula di saat mendapatkan waktu luang, justru tekatnya melemah karena terhanyut godaan dunia lainnya. Oleh karena itu, sepatutnya segera bangkit melakukan amal-amal yang bermanfaat sebelum terlambat.
*اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً*
Jadilah Lentera Kehidupan di Tengah Gelapnya Dunia
Setiap manusia diciptakan dengan potensi untuk menjadi cahaya. Tidak harus terang-benderang seperti matahari yang menyinari jagat raya, cukup menjadi pelita kecil yang menggantung di sudut hati manusia lain, menyinari gelap mereka dengan sedikit harapan. Inilah filosofi dari menjadi "lentera kehidupan" menjadi sumber cahaya, sekecil apapun, bagi orang lain yang tengah terjerat dalam kegelapan.
Kehidupan adalah perjalanan panjang yang tidak selalu cerah. Ada saatnya malam terasa terlalu pekat, kabut terlalu tebal, dan langkah terasa tertatih dalam kesendirian. Di titik-titik itulah, kehadiran seorang teman, senyuman tulus, atau bantuan kecil bisa bermakna besar. Bagi seseorang yang tengah tersesat, lentera kecil bisa menjadi penunjuk arah, bukan karena kekuatannya, melainkan karena kehadirannya yang menenangkan.
Allah ﷻ telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia sejatinya dituntun untuk menjadi sebaik-baik manusia bagi sesamanya. Firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?'" (QS. Fussilat: 33)
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan bukan pada siapa yang paling bersinar terang, tapi siapa yang menyeru kepada kebaikan dan tetap berada di jalan Allah dalam kondisi apapun. Maka menjadi lentera kehidupan adalah bagian dari amal saleh: menebarkan manfaat dan harapan bagi sekitar.
Rasulullah ﷺ pun bersabda dalam hadis yang begitu terkenal:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad)
Dalam hadis ini, tolok ukur kemuliaan bukanlah pencapaian duniawi, tapi kebermanfaatan. Bahkan andai kita tidak mampu memberi sesuatu yang besar, cukup dengan kehadiran yang menghibur, senyuman yang menguatkan, atau ucapan yang menenangkan.
Jadilah seperti lentera: diam namun bercahaya. Ia tidak berisik, tidak menuntut perhatian, tapi cukup untuk menyejukkan malam yang gulita. Tidak semua orang bisa menjadi matahari. Tapi setiap orang bisa menjadi lentera. Bahkan pelita kecil pun mampu mengusir ketakutan yang bersarang dalam jiwa yang kesepian.
Seseorang mungkin tengah tenggelam dalam keputusasaan. Ia merasa seluruh dunia telah menutup pintu baginya. Dalam kondisi seperti itu, satu sapaan hangat, satu pelukan, atau sekadar kesediaan mendengarkan bisa menyelamatkan hidupnya.
Allah ﷻ menanamkan dalam hati manusia fitrah untuk peduli. Maka setiap bisikan hati yang mengajak kita untuk membantu, menemani, dan berbagi — adalah seruan ilahiah yang layak diikuti.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Ma’idah: 2)
Ayat ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan sosial, kita diperintahkan untuk menjadi bagian dari solusi, bukan menambah luka. Bahkan dalam skala yang sangat kecil, setiap upaya menolong orang lain adalah ladang amal yang terus tumbuh subur.
Seseorang mungkin berpikir bahwa dirinya terlalu kecil untuk membuat perubahan. Tapi justru dalam dunia yang penuh kerusakan, satu tindakan baik menjadi sangat bermakna. Bayangkan dunia sebagai malam yang gelap gulita. Jika setiap jiwa menyalakan satu lilin, maka dunia akan terang karena ribuan lilin yang menyala bersama.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
"Lindungilah dirimu dari api neraka meskipun hanya dengan (sedekah) sepotong kurma. Jika tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengingatkan bahwa nilai amal tidak dilihat dari besar kecilnya, tapi dari niat dan keikhlasannya. Maka berkata baik, hadir dalam kesunyian orang lain, dan memberi cahaya walau redup, tetap dihitung sebagai amal yang besar di sisi Allah.
Ketika kita menjadi lentera kehidupan, kita bukan hanya membantu orang lain kita sedang menyelamatkan diri kita sendiri. Karena setiap cahaya yang kita nyalakan untuk orang lain, akan menerangi jalan kita di akhirat kelak.
Ingatlah janji Allah:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
"Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. At-Taubah: 120)
Jangan pernah lelah menjadi baik. Walaupun kebaikanmu tidak dibalas hari ini, tidak dihargai oleh manusia, bahkan dilupakan oleh dunia percayalah, Allah menyimpannya. Dan Allah tidak pernah lupa.
Jadilah lentera. Jika tidak bisa menuntun orang lain ke jalan kebaikan, setidaknya tunjukkan bahwa mereka tidak sendirian. Kadang cahaya kecilmu adalah satu-satunya harapan yang bisa mereka lihat. Tetaplah menyala, meski redup. Tetaplah menjadi terang, meski sendiri. Karena dalam cahaya kecilmu, ada jalan pulang bagi banyak hati yang tersesat.
Semoga Bermanfaat.
No comments:
Post a Comment