*Quote for today*
Kamis, 24 Juni 2021
*"Mencintai dan menerima apa adanya, tanpa syarat, tanpa kata 'tapi'"*
Kita sering mendengar dan mungkin malah menggunakan kalimat ini terutama kepada kekasih hati kita. Kalimat tersebut menjadi begitu romantis diucapkan pada awal hubungan dengan pasangan. Barangkali termasuk menggombal.
Tetapi kalimat tersebut menjadi kutipan hari ini karena ada kaitannya dengan buah hati kami. Siang ini kami mendapatkan wa berisi pengumuman tentang hasil ujian tahfidz di sekolahnya. Pengumuman tersebut disampaikan dari kelas 1 sampai kelas 6.
Kami tentu saja optimis anak kami bisa lulus ujian tahfidz. Hal ini saya sampaikan karena ketika habis ujian anak kami mengatakan bisa melaksanakan ujian dengan lancar dan sukses. Tidak ada raut ragu saat menyampaikan.
Tetapi hari ini kami mencari nama anak kami di antara sekian puluh
anak di kelasnya. Tidak ada namanya tersebut. Kami mencoba mengulanginya. Tetap saja tidak ada.
Dalam hati saya mulai bertanya apakah anak kami tidak lulus?
Ternyata benar. Ia tidak lulus ujian tahfidz kelas 2. Rasanya sedih sekali. Ada harapan yang tiba-tiba hilang menjadi sebuah amarah. Memang ada beberapa siswa lain yang juga tidak lulus. Tapi saat itu saya memikirkan hal tersebut.
Saya bertanya dengan menahan marah. Katanya bisa ujian kok Dede nggak lulus? Tidak ada nama Dede di sini. Kenapa Dede? Airmata saya hampir tumpah di depan anak saya. Bercampur aduk antara kesedihan dan kemarahan yang membuncah di dalam dada. Berkali-kali mencoba menahan dengan beristighfar. Tapi malah semakin menggenang air mata di pelupuk.
Ada kekecewaan yang menyeruak. Terbayang flash back proses via belajar menghafal. Ia memang tidak mau hafalan dengan video call seperti yang diharapkan Pak ustadz. Katanya malu. Setiap kali di telepon, tidak mau mengangkat. Hafalan hanya lewat voice note dan tidak rutin.
Sudah beberapa kali dibujuk dan diingatkan. Bahkan saya mencoba mengumpulkan hafalan surat-surat pendek juz 30 baik lewat video maupun suara. Tapi belum berhasil menggerakkan anakku untuk menghafal. Ia menghafal juz 30 sekena dan semaunya sendiri.
Saya memang tidak memaksakan diri untuk menjadikan dia harus menghafal. Bagi saya pribadi menghafal itu harus datang dari diri mereka sendiri. Kita hanya membiasakan mereka dekat dengan Al Qur'an. Saya takut kalau dipaksakan menghafal akan ada kesan membaca Al Qur'an itu sulit dan berat.
Tapi ternyata ketika hari ini pengumuman tiba dan anakku termasuk yang tidak lulus ujian tahfidz, saya tidak bisa menyembunyikan kekecewaan ini. Saya betul-betul marah. Dengan sedikit mengancam akhirnya anakku menangis. Tapi itu tidak membuat saya bergeming. Ia sudah tidak kami izinkan menggunakan HP sebagai resiko kegagalannya, shalat tidak boleh ditunda. Ketika anak menolak saya akan mengingatkan tentang ujian tahfidz itu.
Di malam hari saya dan suami berbincang mengatasi masalah kegagalan ini. Ada rasa ingin saling menyalahkan, tetapi kami akhirnya menyadari bahwa itu bukan sebuah solusi.
Saya lihat anak saya pun menyadari kesalahannya. Selama dua hari setelah pengumuman ia menuruti perintah kami untuk shalat dan hafalan. Meskipun gagal mudah-mudahan ia bisa belajar mengubahnya. Ketika saya bertanya apakah ia sedih tidak lulus ujian tahfidz? Katanya tidak. Syukurlah paling tidak ia bisa mencobanya lagi di kelas 3. Semoga Ini menjadi shock therapy baginya sehingga di kesempatan berikutnya ia mau menghafal dengan rajin dan memanfaatkan video call bersama ustadz.
Maafkan kami semoga kesalahan ini bisa diperbaiki. Menjadikan menghafal sebagai media kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah. Mungkin itu yang perlu ditumbuhkan. Bukan karena hal yang lain. Harus kembali meluruskan niat. Kita akan berubah bersama ya? Ayah, ibu dan kamu. Bersama. Bismillah.