Kematian Nita Tilana karena penyakit kanker kandung rahimnya menyisakan dua hal dalam perasaan dan nurani saya. Ada rasa sedih yang mendalam (meski saya tidak mengenalnya selain mengetahuinya dari media) karena usaha yang dilakukannya belum membuahkan hasil dan impian-impiannya untuk berumrah ke tanah suci dan melayani suaminya kandas sudah. Namun di sisi lain ada rasa syukur menyelinap. Kematian yang datang padanya mengakhiri penderitaan dan perjuangan yang panjang dan berat yang ditanggungnya. Mungkin itu cara terbaik Allah mengasihinya.
Namun ketegaran yang ia tampilkan dalam melewati penyakitnya (meski penulis hanya tahu lewat media massa yang mungkin belum menggambarkan separohnya) benar-benar menyiratkan kekuatan batin yang tiada tara. Saya sangat appreciate terhadapnya. Seringkali terpikir dalam otak saya, andai saya dalam posisi demikian, mungkinkah putus asa sudah lama merenggut jiwa dan harapan saya dan menganggapnya sebagi kebencian Tuhan. Semoga saya terhindar dari hal yang demikian.
Beberapa hari berselang dari peristiwa tersebut, seperti biasa saya kembali bertemu dengan teman-teman PPL dari UNY dan Universita Sanata Dharma di STM Pembangunan ( SMK N2 Yogyakarta). Saat itu saya mendapat giliran tugas piket. Kebetulan saya bareng dengan Angelina dan Gunawan. Keduanya dari Universitas Sanata Dharma. Entah dari mana mulainya, Angelina kemudian menceritakan sakitnya. Ia memang baru beberapa hari kemarin izin dari kegiatan PPL karena sakit. Tetapi kami, teman-temannya, tidak tahu apa penyakitnya.
Berkaca-kaca ia mulai menceritakan infus yang menempel di tubuhnya tanpa makan sesuap pun. Semula saya kira penyakitnya berkaitan dengan perut, seperti maag, typus dan semacamnya. Ternyata setelah kita tanya lebih lanjut ia menderita tumor (kanker) payudara. Ya Allah, saya dan Gunawan kaget sekali. Tapi kami hanya bisa berpandangan tak percaya. Prihatin. Hal yang benar-benar ditakutkan oleh wanita terjadi pada dirinya. Saya dan Gunawan tidak bisa berkata-kata ketika ia mengungkapkan rasa sakit yang ia derita ketika tumor itu menyerang tubuhnya. Mendengarkan cerita sakitnya saja sudah membuat saya ngeri.
Sejenak saya memandangnya. Angelina gadis yang cantik dan tinggi. Ia anak yang ceria bahkan tanda kesedihan tidak tersirat di wajahnya. Andaikan ia tidak cerita pastilah kami tidak akan pernah tahu yang ia derita. Yang terlihat hanya bayang kelelahan dan keletihan. Itu pun tertutupi dengan kecerian tawa banyolan –banyolannya. Kami mencoba menyarankan untuk operasi saja, meski sebenarnya saya tidak tahu banyak hal tentang ini. Tapi hanya itu jalan yang terbanyang di pikiran kami. Bukankah ilmu kedokteran sudah semakin canggih sehingga prospek sembuh lebih besar. Ia menolaknyadengan tegas. Katanya bukan hanya saya dan Gunawan yang menyarankan demikian, keluarganya pun sudah membujuknya. Tetapi ia tetap menolaknya. Kehendaknya untuk tidak dioperasi sudah benar-benar bulat. Katanya kalau pun ia meninggal nanti, ia ingin seluruh tubuhnya utuh bersamanya. Tidak ada yang terpisah darinya. Duh…!
Peristiwa kematian Nita Tilana kembali terbayang di pikiran saya. Mungkinkah ia pernah bersikap sama seperti Angelina? Tetapi Angelina sudah hampir 3 tahun menjalani penyakit ini dan ia benar-benar tidak ingin memisah-misahkan bagian tubuhnya. Ia lebih memilih obat-obat tradisional seperti kunyi putih, kunir asam dan sebagainya. Trauma dari peristiwa tantenya benar-benar mempengaruhi keputusannya. Tantenya meninggal setelah melakukan operasi 2 x dengan penyakit yang sama, membuatnya pasrah dalam perjalanan waktu menuju penyakitnya.
Saya cuma bisa menghela napas begitu kami menyudahi obrolan tentang penyakit Angelina. Ternyata di sini, di dekat saya, ada orang yang sama. Orang yang benar-benar tegar berjuang melawan rasa sakit. Semoga ketegaran-ketegaran mereka dapat menjadi pelajaran berharga bagi saya dalam menghadapi cobaan dan kesulitan hidup. Amin.
Catatan :
Tulisan ini ditulis sebelum penulis mengetahui bahwa tumor dan kanker berbeda. Tumor jinak, bisa dihilangkan. Tumor ganas atau yang sering kita sebut kanker diobati melaui kemoterapi, bisa sembuh 100% dengan pengobatan intens dan belum menyebar.
No comments:
Post a Comment