Di bulan Oktober 1999 aku membaca sebuah artikel di majalah wanita Kosmopolitan. Artikel tersebut ditulis dengan judul “Perploncoan Membawaku ke Kemenangan”. Sebuah artikel yang berisi bahwa keadaan yang tidak menyenangkan dan membuat tidak nyaman, dalam hal ini perploncoan yang dialami penulis artikel, ternyata memberikan pengaruh positif jika disikapi dengan positif. Artikel ini seolah mengingatkanku akan perjalanan untuk menjadi seseorang seperti saat ini. Seorang yang bookacholic, sangat gemar pada buku.
Cerita aku menjadi seorang bookacholic berawal dari sekolah dasar. Waktu itu TK memang belum menjamur seperti sekarang ini. Sekolah lebih banyak dimulai dari tingkat SD. Dan di sinilah kisahku berawal. Aku termasuk anka yang kutu buku disekolahku.buku adalah pengisi waktu luangkudi sekolah. Sebelum msuk kelas atau waktu istirahat, kumanfaatkan untuk membaca buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan sekolahku. Sebenarnya koleksinya tidak terlalu banyak untuk ukuran sekarang, tetapi aku sudah sangat senang dengan keadaan itu. Meskipun kadang terpaksa aku harus membaca ulang buku-buku yang telah kubaca karena keterbatasan koleksi.
Di sekolah mungkin kebutuhan akan membaca terpenuhi. Namun tidak begitu ketika aku pulang ke rumah. Belum berjalannya perpustakaan sekolah dengan baik menyebabkan buku-buku perpustakaan tidak bisa dipinjam di luar jam sekolah. Aku tidak mempunyai satu pun buku cerita atau buku pelajaran, apalagi majalah-majalah anak seperti yang marak terbit sekarang ini. Jangan berharap memilikinya. Tak mungkin aku mewujudkannya. Jauh sekali impian membeli buku atau majalah saat itu. Seringkali aku memandang iri pada teman-temanku, yang merupakan anak-anak dari guruku, yang dengan mudah mendapatkan buku dan majalah. Dari merekalah kadang saya meminjam. Meski harus menunggu agak lama. Tapi tak apa yang penting ada bacaan yang baru.
Sebenarnya yang bernasib sama denganku tidaklah sedikit. Hampir seluruh teman-temanku, kecuali anak-anak guru, tidak memiliki buku sama sekali. Memang baru anak-anak guru atau pedagang kaya yang mampu membelinya. Buku dan majalah memang masih menjadi barang mahal bagi kami, anak-anak petani dan buruh. Sementara buku-buku yang kami miliki adalah buku tulis yang kami pakai untuk mencatat pelajaran di sekolah, yang kusalin dari papan tulis. Karena tidak ada pilihan lain untuk dibaca, buku pelajaranlah yang kubaca meski seringkali timbul bosan. Namun harapan untuk memiliki buku memang tipis. ‘Ah seandainya aku punya buku bacaan,’ hanya itulah khayalanku ketika itu. Dan sampai lulus SD semua harapan itu belum juga terwujud.
Di tingkat SMP lah aku mulai memiliki buku cetak dan majalah yang memang diwajibkan untuk dibeli. Aku sangat bahagia meski aku harus mengurangi uang jajanku untuk kubelikan majalah remaja. Sekali majalah itu di tanganku, aku akan segera menyelesaikan hari itu juga seperti seorang anak yang kelaparan dan diberi makan. Lahap sekali.
Memang tragis semuanya terjadi di tahun 90-an. Mungkin Anda berpikir itu tidak mungkin. Tapi ya begitulah perjalanan hidupku dan juga teman-temanku. Mungkin karena kami anak-anak pinggiran. Tapi aku tidak menyalahkan siapa-siapa, baik itu orang tua, sekolah, lingkungan atau pemerintah. Aku sering berpikir menyalahkan orang lain pun tidak akan menyelesaikan masalah. Sia-sia saja. Dan semuanya kemudian berlalu tanpa pemberontakan yang berarti dariku. Aku hanya menyimpan pembrontakan-pemberontakan itu di batin dan di hatiku.
Pemberontakan-pemberontakan dan rasa ingin memiliki buku yang tersimpan terlalu lama di lubuk hatiku menumbuhkan keinginan kuat untuk membaca segala hal. Aku sering membaca koran pembungkus kain atau pembungkus makanan yang ibu beli dari pasar. Ibu sering memarahiku karena lebih asyik membaca koran daripada segera membenahi barang belanjaan. Aku memang sangat menikmati membaca apa pun jenis bacaan sampai menghabiskan waktu berjam-jam. Aku malah sering membaca buku-buku yang dipinjam dan dibaca oleh guru saat di tingkat SMA. Kadang aku tersenyum kalau mereka sedang menceritakan buku yang mereka baca. Soalnya aku juga sudah tahu isi lengkapnya. Rasa ingin memiliki buku pun terus menguat seiring usia dan pendidikan yang kulalui.
Dan kini semuanya terwujud. Di bangku kuliah ini aku lebih punya banyak kesempatan untuk membeli buku. Dari buku wajib perkuliahan sampai buku yang memang ingin sekali aku baca. Aku membelinya dengan uang beasiswa yang kuterima. Seringkali aku menghabiskan beratus-ratus ribu hanya untuk membeli buku dan rela mengurangi jatah makanku untuk kusisihkan guna membeli buku. Tapi aku sangat bahagia.
Untuk beberapa sudut pandang, mungkin akan berdampak buruk terutama bagi segi keuangan anak kos. Tetapi satu hal yang membuatku bangga dan menikmatinya adalah karena aku tidak kecanduan karena obat atau alkohol atau hal-hal negatif lainnya. Aku bahagia karena sifat borosku tersalurkan untuk membeli buku. Barang yang menurutku akan lebih bermanfaat dari apaun. Yang membawaku berkeliling dunia tanpa banyak mengeluarkan biaya, yang membuatku enjoy, dan membuatku menjadi orang yang lebih baik.
Dan untuk pertama kalinya aku dapat memandang positif pada hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi padaku. Untuk pertama kalinya pula aku tidak menyalahkan keadaan. Aku malah berterima kasih pada keadaan yang secara tidak langsung dan sadar mengarahkan aku pada kehausan ilmu pengetahuan. Memang segala sesuatu tercipta tidak tanpa hikmah. Terima kasih untuk semua yang telah kulewati.
No comments:
Post a Comment