Peristiwa ini saya alami ketika proses wisuda di Universitas Negeri Yogyakarta. Pada waktu itu kegiatan proses wisuda merupakan momen yang sangat dinantikan oleh seluruh anggota keluarga. Terlebih faktor saya berasal dari keluarga petani yang akhirnya mampu menyelesaikan bangku kuliah. Sebuah anugrah Allah SWT yang luar biasa. Bagaimana bisa? Kalau dirunut ke belakang banyak orang yang berjasa di dalamnya. Meskipun lebih banyak faktor kenekatan. Maka orang-orang di sekitarku dan terutama saudara ingin ikut gegap gempita proses wisuda sekaligus jalan-jalan ke kota pelajar, Yogyakarta.
Bulan November 2002 ketika itu Universitas Negeri Yogyakarta mengadakan dua hari pelaksanaan wisuda. Yakni hari Jumat dan Sabtu. Saya kebagian yang hari Jumat. Waktu itu hubungan komunikasi hanya melalui telpon umum. Saya menghubungi keluarga dan menginformasikan tentang acara wisuda tersebut. Keluarga di Purbalingga pun mempersiapkan dengan matang. Armada sebuah bus disiapkan untuk mengiringi aku wisuda sekaligus membawa barang-barang yang dapat segera dibawa pulang setelah wisuda.
Hari Jumat datang prosesi wisuda. Mahasiswa yang lain sudah mulai ditemani oleh keluarganya. Keluarga inti, Bapak dan Ibu dipersilahkan untuk mengikuti di sekitar gedung sementara kami wisudawan dan wisudawati berada di area gedung. Hari semakin siang, rombongan keluarga belum nampak hadir di sekitar gedung auditorium, tempat pelaksanaan wisuda. Hati semakin gelisah. Tak ada daya untuk menanyakan. Untungnya ada saudara yang memang tinggal di Yogyakarta yang menemani dari pagi.
Wisuda pun berlangsung dengan lancar. Kebahagiaan memuncak mengucapkan janji civitas UNY. Dan berakhir dengan pemindahan tali wisuda dan pemberian ijazah tanda berakhirnya proses pendidikan di UNY. Sampai berakhirnya wisuda aku terus mencari sosok Bapak dan Ibu di antara deretan tempat duduk yang dikhususkan untuk orang tua. Namun tidak juga saya temukan. Saya berdoa semoga tidak ada sesuatu yang terjadi dalam perjalanan keluarga dari Purbalingga ke Yogyakarta.
Sampai akhirnya prosesi wisuda berakhir dan aku disambut oleh saudara yang tinggal di Yogyakarta dan teman-teman seangkatan. Sebenarnya aku menanyakan di mana keluarga kok belum terlihat. Saudara pun tidak tahu, sudah mencari seluruh daerah wisuda namun tidak ada. Rasa bahagia dan sedih itu silih berganti. Namun bersyukur saya tidak sampai berurai airmata di depan teman-temanku.
Pada sore hari setelah selesai prosesi wisuda baik di tingkat universitas maupun di tingkat fakultas selesai,saya mencoba menghubungi nomor telpon yang biasa saya menjadi media komunikasi antara saya dan orang tua. Saya tanyakan kenapa keluarga belum sampai di Yogyakarta? Betapa terkejutnya saya ketika si empunya telpon menyatakan bahwa keluarga akan datang di hari Sabtu. Saya tidak menyatakan bahwa wisuda sudah dilakukan. Biarlah besok seperti apa adanya. Keluarga akan datang meskipun aku sudah wisuda.
Hari Sabtu pagi, sekitar jam 09.00 keluarga sampai. Suasana wisuda untuk jadwal hari Sabtu sudah ramai. Auditorium dan sekitarnya penuh sesak dengan kendaraan dan keluarga penjemput dan pengantar wisudawan dan wisudawati. Saya sambut keluarga. Mereka agak terkejut mendapati saya tidak memakai toga dan berada di gedung auditorium. Saya ceritakan semuanya yang terjadi. Bahwa saya sudah diwisuda hari Jumat kemarin. Begitu mendengar cerita saya keluarga memeluk saya, membayangkan kemarin saya sendirian diwisuda, tanpa kehadiran keluarga. Tapi untuk menenangkan mereka, saya panggil teman-teman kos yang menemani saya kemarin. Bersyukur baju wisuda masih ada di tempat sehingga bisa saya gunakan kembali untuk berfoto dengan keluarga. Saudara yang di Yogyakarta pun hadir lagi hari Sabtu ini.
Kadang, hingga saat ini saya masih berfikir dan menduga mengapa semua peristiwa itu terjadi. Kekeliruan dalam komunikasi. Apakah saya yang salah menyampaikan? Apakah penerima telpon yang salah memahami isi informasi atau keluarga yang salah menerima informasi. Rasa sedih dan menyalahkan diri sendiri maupun orang lain kadang muncul tetapi sampai pada detik ini saya bersyukur bahwa ketidakhadiran orang tua dan keluarga tidak karena sesuatu yang buruk terjadi. Aku pun malah lebih leluasa mengantarkan orang tua melihat kampus tempat kuliah ketika proses wisuda berlangsung di hari Sabtu. Suasana wisuda dan berbagai hal tentang kampus dapat saya sampaikan ke orang tua dan keluarga hingga sampai pada pamitan dengan ibu kos tempat selama ini aku tinggal di Yogyakarta.
Selain itu saya berkesimpulan, wisuda tidak harus ditemani. Bukan proses wisudanya yang penting tetapi setelahnya. Begitu saya mendapatkan pekerjaan dengan diterima menjadi guru bantu di bulan Februari 2023 dan diangkat menjadi PNS satu setengah tahun berikutnya, perasaan menyalahkan peristiwa ini semakin berkurang. Banyak juga teman-temanku yang tidak didampingi keluarga pada saat wisuda,tetapi mereka tetap happy dan enjoy. Wisuda adalah proses biasa. Yang terpenting adalah setelahnya. Semoga diangkat menjadi PNS merupakan kebahagiaan yang dapat saya berikan kepada orang tua, guru dan keluarga. Saya sudah memaafkan diri sendiri dan orang lain atas peristiwa ini. Pasti ada hikmah di sebaliknya, apapun itu. Alhamdulillah 'ala kullihal. Segala puji bagi Allah atas segala sesuatu. Terima kasih kepada teman -teman yang sudah menemani hari yang berat ketika itu.
Bagaimana menurut Anda? Bagaimana jika Anda posisi ini? Silahkan tulis komentar Anda untuk berbagi rasa. Salam literasi.
Sedih juga bunda.. huf namun kita harus tetap bijak dan mnerima apapun yg terjadi.. yang terpenting bagaimana kita bisa memanfaatkan ilmu setelah wisuda
ReplyDeleteDulu saat wisuda, Alhamdulillah saya didampingi mamah dan kakak serta adik, mendapatkan banyak bunga mawar dari kawan dan 1 spanduk ucapan selamat, namun tidak sedikit dari kawan saya yang wisuda sendiri tanpa dampingan keluarganya. Semoga tidak mengurangi nilai dan kesan yang tercipta
ReplyDelete