/* widget kuis by wendy code */ .wc-qws-mhs,.wc-qws-sls{position:relative;padding:10px 15px;margin:20px auto;width:100%;background-color:#fff;box-shadow: 0 2px 15px -2px rgb(0 0 0 / 12%);border-radius:3px} .wc-qws-mhs.hidden,.wc-qws-sls.hidden,#wc-qws-start.hidden,.wc-qws-knt.hidden,.wc-qws-wkt.hidden,#wcqws-made-by{visibility:hidden;opacity:0} .wc-qws-mhs input[type=text],.blogContent .widget input[type=text]{padding:15px;border-radius:3px;margin:10px 0;width:100%;border:1px solid #ddd;outline:none;background:rgba(255,255,255,0.2);color:#444} .wc-qws-mhs input[type=text]:focus,.blogContent .widget input[type=text]:focus{border-color:#f89000!important} .wc-qws-mhs input[type=text]::-webkit-input-placeholder{color:#a5a5a5;font-size:14px} button#wc-qws-lnj,button#wc-qws-start,button#wc-qws-fns{width:100%;padding:15px;outline:none;border:0;background-color:#f89000;color:#fff;border-radius:3px;margin-bottom:10px;font-size:15px;font-weight:bold}button#wc-qws-start,button#wc-qws-fns{margin-top:25px} @media screen and (min-width:500px){button#wc-qws-start,button#wc-qws-fns{max-width:300px}} .wc-qws-sls h3{text-align:center;font-size:17px} .wc-qws-sls p{font-size:15px;margin:5px auto} .wc-qws-sls p:last-child{font-size:13px;line-height:1.5em;margin-top:15px;font-style:italic;opacity:.8} .wc-qws-knt label{background-color:#E7E9EB;display:block;position:relative;padding:10px;margin-bottom:1px;cursor:pointer;border-radius:3px;font-size:18px;-webkit-user-select:none;-moz-user-select:none;-ms-user-select:none;user-select:none;word-wrap:break-word} .wc-qws-knt input{border:2px solid #fff;box-shadow:0 0 0 1px #f89000;appearance:none;border-radius:50%;width:12px;height:12px;background-color:#fff;transition:all ease-in 0.2s} .wc-qws-knt input:checked{background-color:#f89000} .wc-qws-knt label:hover{background-color:#ddd} .wc-qws-knt input{margin-right:10px} .wc-qws-knt b{padding:0 6px;border-radius:50%;border:5px solid rgba(255,219,158);color:#f89000;margin-right:5px} .wc-qws-knt form:nth-child(n+2):before{content:'\2027 \2027 \2027'; display:block;text-align:center;font-size:28px;font-style:normal;letter-spacing:0.6em;text-indent:0.6em;margin:20px auto} /* css darkmode sesuaikan classnya jika berbeda atau hapus bagian ini */ .darkMode .wc-qws-mhs,.darkMode .wc-qws-mhs input[type=text],.darkMode .wc-qws-knt label,.darkMode .wc-qws-mhs,.darkMode .wc-qws-sls{background-color:#2d2d30;color:#fefefe} .darkMode .wc-qws-mhs input[type=text]{border-color:rgba(255,255,255,.1)}

Wednesday, 11 November 2020

Pembiasaan Masa Kecil Membentuk Kemampuan Menulis

Resume kuliah ke-11 Belajar Menulis 8 (Senin, 9 November 2020)

 Perkuliahan pada hari Senin malam, 9 November 2020 ini terasa special karena narasumber memiliki dasar menulis dari awal yang terbentuk dari pembiasaan di keluarganya. Beliau adalah Ibu Ditta Widya Utami, S.Pd. seorang guru IPA di SMPN 1 Cipeundeuy, Subang, Jawa Barat. Diceritakannya beliau menyukai membaca dan menulis bahkan sejak TK. Ini semua tak lepas dari kasih sayang kedua orang tua beliau.

Seingat Ibu yang lahir di Subang, 23 Mei 1990, pada malam-malam tertentu, kedua orang tua beliau akan membacakan buku cerita untuknya. Tak hanya itu, mereka pun senantiasa memberikannya berbagai macam buku untuk dibaca.

Oleh karena itu Ibu Ditta bersyukur memiliki kedua orang tua yang telah mengenalkannya pada dunia membaca dan menulis. Hingga akhirnya terbiasa menyisihkan uang untuk kemudian pergi ke toko buku di Bandung hanya sekedar untuk membeli buku. Itu pun tidak setiap saat. Hanya ketika beliau berkunjung ke nenek saja saat lebaran misalnya.

Intinya Bu Ditta sudah senang menulis sejak bisa menulis. Dari sekitar kelas 4 atau 5 SD beliau sudah terbiasa menulis diary. Di SMP saya menulis untuk Mading sekolah. Pernah juga menulis cerita di buku tulis lalu dipinjamkan ke teman-teman untuk dibaca.

Di SMA dan Kuliah Bu Ditta mulai merambah media sosial dan blog. Sempat membuat grup untuk mengshare tulisan-tulisan hasil karyanya. Saat kuliah, tulisannya lebih ke KTI. Ikut lomba KTI Beswan Djarum dan masuk 10 besar regional Bandung, atau ikut lomba mahasiswa berprestasi yang salah satunya membuat tulisan karya ilmiah.

Saat sudah menjadi guru Bu Ditta ikut mengembangkan literasi di sekolah. Salah satunya beliau tuangkan dalam bentuk mini best practice di buku kolaborasi ini. Bermula dari program west Java leader's reading challenge (wjlrc) bu Ditta aktif di literasi sekolah. Mulai dari menghidupkan kembali perpustakaan yang sempat mati suri, dan mendata ulang data perpustakaan dan membuat jadwal literasi, menyusun program dan mengevaluasinya.

Hal yang membuatnya gembira ketika itu adalah ketika membuat jadwal literasi guru, ternyata disambut baik kepala sekolah saat itu. Jadi, tak hanya siswa, saat kegiatan readathon (membaca bersama-sama selama ±40 menit), ada guru dan siswa yang presentasi ttg apa yg telah dibaca. Sayangnya kegiatan itu saat ini terhenti krn pandemi.

Berkaitan dengan dunia tulis-menulis, Bu Ditta memberikan beberapa tips sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan yang biasanya dikeluhkan oleh para penulis. Di antaranya adalah:

A.    Bagaimana Memulai Menulis

Semua mungkin sepakat bahwa menulis tak bisa lepas dari keseharian kita. Setiap hari, mungkin kita terbiasa menulis balasan chat di media sosial. Menulis jurnal harian mengajar. Menulis feedback untuk tugas siswa. dsb. Tapi, ketika harus menulis buku atau menulis di blog, rasanya seperti berlari sprint yang tiba-tiba menghantam tembok. Atau bertinju yang tiba-tiba KO. Atau bermain catur yang langsung skakmat. Entah apa yang terjadi, seolah semua ide lenyap begitu saja. Tangan tiba-tiba tak bisa menulis. Mungkin kita sering menyebutnya sebagai writer’s block ya?

Ada beberapa tips yang pernah beliau lakukan dan mungkin bisa diterapkan pula oleh penulis-penulis yang lain, yaitu :

1.      Ikut kelas menulis

Sekarang banyak kelas menulis yang dibuka dan ditawarkan.Dengan bergabung dengan kelas menulis, kita akan banyak mendapatkan ilmu bagaimana menulis, mencari ide untuk menulis bahkan sampai informasi tentang bagaimana kita bisa menerbitkan buku dan tulisan kita di media massa.

 

2.      Ikut komunitas menulis

Ikut komunitas menulis juga dirasa perlu. Karena dalam komunitas itulah kita bisa berbagi tulisan dan membaca tulisan orang lain sehingga kemampuan menulis kita pun akan semakin terasah. Saat ini sudah banyak sekali komunitas menulis yang bisa diikuti. Terlepas apakah komunitas tersebut dibuat khusus untuk guru ataupun umum.

 3.      Ikut lomba menulis

Ini cocok bagi siapa pun yang menyukai tantangan. Dengan mengikuti lomba, kita bisa belajar membuat tulisan dengan berbagai tema dalam waktu yang tentunya sudah terjadwal. Beliau juga pernah sekali dua kali mencoba meskipun belum menjadi juara. Tetapi justru dari situ kita akan sadar dimana letak kekurangan kita. Sehingga di kemudian hari, kita bisa belajar untuk menjadi lebih baik.

 4.      Menulis apa saja yang ada di sekitar/dalam keseharian kita.

Tulis saja apa yang ada di sekitar kita atau yang kita alami hari ini. Yang bisa ditiru mungkin, Omjay rutin mengirim foto setiap hari untuk diubah menjadi tulisan. Ada foto ketoprak, gorengan, kucing, rempeyek, wah macem-macem! Pokoknya dari foto itu harus jadi tulisan minimal 3 paragraf. Seru dan sekaligus membuktikan bahwa memang benar apa saja yang ada di sekitar kita bisa kita ubah menjadi tulisan loh!

 Jika belum mempan, mari buat tulisan tentang keseharian kita. Seperti diari. Itu pun tak apa. Yang penting nulis agar kemampuan kita semakin terasah. Misalnya tulis saja kisah mencari tanaman keladi putih di hutan demi gratisan atau untuk istri tercinta atau saat hiking dsb

 5. Menulis apa saja yang kita suka

Tulislah apa yang kita suka. Karena jika sudah suka biasanya bakal awet. Contoh jika senang berkebun (lagi booming lagi nih ya menanam bunga), silakan tulis tentang berkebun. Yang senang memasak? Silakan berbagi dengan jenis teks prosedural resep memasak, dsb. Pokoknya tulis apa yang kita suka dan kita kuasai.

 

B.     Harus Menulis Di Mana

Ketika ingin menulis, tentu kita butuh medianya. Menurut aktivis literasi menulis itu bisa kita lakukan di : Ø  Blog

Ø  Buku harian

Ø  HP/Laptop

Ø  atau platform menulis online seperti wattpad dan storial

  Ø Bahkan media sosial pun bisa kita buat sebagai sarana untuk menulis.


Menulis dimana saja yang penting rutinkan atau buat target berapa tulisan yang harus dibuat dalam sehari, seminggu, sebulan, dst.

 

C.    Perbedaan Menulis Buku Solo dan Kolaboratif

Ada beberapa hal yang membedakan saat kita menulis buku solo dan kolaborasi tentunya.

Menulis buku solo

Menulis buku kolaboratif

Tema dan waktu untuk buku solo tentu kita bebas menentukan apa temanya dan kapan mau beresnya. Apakah seminggu, sebulan, menahun?

Tulisan yang kita buat harus sesuai tema sesuai ketentuan dan waktunya pun sesuai yang dijadwalkan.

 

Proses pengajuan ke penerbit dll tentu harus diurus secara mandiri.

 

Enaknya kalau kolaborasi dan kita jadi peserta itu, prosesnya sudah ada yang handle.

Biaya yang dikeluarkan sudah pasti  lebih mahal. Buku yang dicetak umumnya sesuai jumlah pesanan (tapi tak jarang ada juga yang dicetak banyak terutama bila diterbitkan di penerbit mayor).

 

Sementara dengan menulis bersama, biaya yang dikeluarkan bisa lebih murah. Walaupun buku yang dicetak umumnya sesuai jumlah peserta saja (tapi tak jarang ada juga yang dicetak banyak terutama bila diterbitkan di penerbit mayor). 

 Ini adalah buku solo pertama Bu Ditta. Ditulis dengan penuh cinta karena berisi kumpulan kisah yang terinspirasi dari anak didiknya. 

Berikut adalah buku-buku hasil karya bersama Bu Ditta dengan komunitas menulis yang diikutinya.




Tips-tips lain yang juga penting berkaitan dengan proses menulis(sebagai tambahan):

a.       Mulailah menulis dari hal hal yang kita sukai dan kuasai.

b.      Menulislah dengan hati karena apa yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati pula.

c.     Tips saat menulis : selesaikan sampai tuntas tanpa editing. Selesaikan saja dulu meski kita merasa ada yang tak cocok dsb. Karena ... Proses editing lah yang memakan waktu paling banyak dalam menghasilkan karya. Jika saat menulis namun belum tuntas, lalu kita edit. Wah, bisa bisa tak selesai selesai karena terus menerus diedit. Jadi, selesaikan, baru edit sehingga bisa lebih enak dibaca.

d.      Menuliskan target kita di kertas/karton lalu tempel di dinding. Insya Allah satu persatu impian itu akan terwujud.

e.    Setiap ada kejadian unik, atau meminjam istilah Munif Chatib yaitu "momen spesial", segera catat.

f.       Agar insting menulis tidak hilang, segera catat apa yang ingin kita tulis. Minimal garis besarnya. Oleh karena itu selalu sedia catatan dimana pun dan kapan pun. Atau simpan di hp dan laptop. Atau draft di blog.Ingat, usahakan tulis garis besar dari apa yang ingin kita tulis dari awal sampai akhir agar meski tidak selesai, kita bisa menuntaskannya di lain waktu.

g.  Untuk mengusir rasa malas, biasanya merefresh otak dan hati terlebih dahulu. Bisa dengan melakukan hal yang kita sukai. Atau membaca beberapa buku ringan dan menghibur.

h.   Menjaga mood agar tidak malas menulis itu mudah. Tinggal ubah mood kita jadi happy. Cara yang paling mudah mengembalikan mood adalah dengan tersenyum. Ambillah sebuah cermin, lalu tersenyumlah. Lihat betapa cantiknya Ibu. Betapa luar biasanya ibu. Betapa Tuhan telah menganugerahkan kita akal dan tangan untuk menulis. Jadi, mengapa tidak menulis sekarang?

i.     Kumpulkan sesuai tema. Bisa dalam bentuk folder atau file. Misal buku solo pertama saya. Saya sudah siapkan folder khusus berjudul "Buku Ditta". Di dalamnya ada subfolder dan subfile berjudul Buku 1 .... Buku 2 ... dst. Minimal 50-70 hlm kan sudah bisa cetak.

j.      Untuk memilih penerbit indie kalau bisa yang dekat dengan domisili agar lebih mudah dan cepat saat nanti proses pengiriman buku.

 Pada akhir pemaparan Ibu Ditta menyampaikan sebuah motto “Teruslah memberi arti pada setiap orang yang kau temui. Dalam setiap hal yang kau lalui, dan untuk setiap waktu yang kau miliki.” Terima kasih sharing pengalamannya semoga menjadikan saya semakin giat menulis dan istiqomah melalui prosesnya.. Saluut pengalamannya.


Prestasi Bu Ditta Widya Utami:

Buku karya tunggal :
Lelaki di Ladang Tebu (2020), sebuah antologi cerpen pendidikan (silahkan cek Instagram 
@dittawidyautami untuk melihat testimoninya)

Buku karya bersama :
1. Jejak Langkah Guru Subang (2019) - kumpulan best practice, MGMP IPA Subang
2. Guru di Ladang Ilmu (2019) - kumpulan cerpen karya guru, Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat (KPPJB)
3. Sepenggal Kisah di Ruang Cipta Pentigraf (2020) - KPPJB
4. Dari Mata Air Hingga Muara (2020) - Literasi Subang Bihari dan Berwibawa (Lisangbihwa)
5. Pelangi Jiwa (2020) - kumpulan kisah inspiratif, KPPJB
6. Pena Digital Guru Milenial (2020) - kisah para guru blogger, PGRI

7. Menyongsong Era Baru Pendidikan (2020) - bersama Prof. Eko Indrajit 

Komunitas yang diikuti :
1. MGMP IPA Subang Komisariat Kalijati (Sie. Bidang Kerja Sama dan Humas)
2. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia)
3. KPPJB (Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat)
4. Lisangbihwa (Literasi Subang Bihari dan Berwibawa)

5. GLN Gareulis Jabar Tingkat Kabupaten Subang 

Mari berteman dengan
narasumber:
Email : dittawidyautami@gmail.com
YouTube : ditta widya utami



No comments:

Post a Comment

Kuis Kosakata

 Kerjakan soal berikut ini untuk mengecek pemahaman kalian pada penguasaan kosakata Mulai Lanjutkan Sisa waktu: 10 menit ...