Berbicara tentang bubur ayam, saya sebenarnya baru mengenalnya setelah kuliah di Yogyakarta. Sebelumnya di Purbalingga saya tidak menenalnya. Mungkin karena saya termasuk yang jarang makan di luar atau membeli makanan luar.
Pertama diajak makan bubur ayam lidah terasa asing. Di otakku bicara tentang bubur adalah bubur sumsum yang aku beli setiap pagi pada pedagang keliling di sekitar rumahku. Lembut, gurih dan manis karena memakai gula jawa yang kental.
Melihat bentuknya di awal juga membuat aku bergidik. Kok campur-campur begitu. Ada bubur kasar, suwiran daging ayam, kerupuk, kecap, bawang merah goreng, sambal dan kuah kaldu ayam. Tapi begitu sering makan sarapan pagi dengan bubur ayam malah jadi ketagihan. Rasanya ada gurih, lembut, manis dan pedas. Lengkap. Nano-nano. Apalagi kalau disajikan dengan sambal yang pedas yang banyak. Mantap. Yummy. Paginya menjadi bersemangat untuk beraktivitas.
Tapi sebenarnya menikmati bubur ayam ini menurut saya pasnya kalau suasana tenang. Tidak terburu-buru. Apalagi ditambah dengan ngobrol bareng teman-teman kos waktu itu. Serasa menambah rasa ayam buburnya. Tambah mantap. Setelah itu baru mulai satu-persatu keluar beraktivitas masing-masing. Siap beraktivitas dengan bekal sarapan bubur ayam. Semangat.
Kini sudah semakin menjamur pedagang atau kedai bubur ayam. Jadi lidah sudah terbiasa. Kalau kangen suasana kos-kosan waktu kuliah di UNY dulu. Langsung bisa nyari pedagang ayam bubur di lingkungan sekitar. Makan bubur ayam yummy. Kangen terobati.
No comments:
Post a Comment