Sudah sering kita dengar kata bahwa waktu itu
laksana pedang. Waktu itu sama dengan uang. Kata pepatah tersebut menyiratkan
kepada kita bahwa kalau kita tidak hati-hati terhadap waktu. Kita terlena oleh
waktu maka kita akan mengalami kerugian sendiri. Waktu itu tidak dapat
diulang, meskipun peristiwanya dapat diulang sampai berkali-kali tetapi jelas
situasi dan kondisi sudah tentu berbeda. Kata pepatah tersebut tidak asing bagi
kita tetapi pada kenyataaanya aplikasi dan penerapannya masih jauh dari kata
pepatah tersebut. Kita masih senang melakukan penundaan demi berbagai alasan.
Alih-alih memperbaiki diri untuk mencoba melakukan sesuai dengan waktu yang
ditentukan, malah kita sering kali melakukan pemaafaan terhadap diri sendiri
apabila kita melakukan penundaan.
Kita merasa bahwa menunda bukan perkara yang
besar. Itu hal biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita cenderung
melakukan banyak hal setelah mendekati batas waktu yang ditentukan. Dan hal
seperti itu sudah lumrah dan menjadi kebiasaaan kita. Tapi benarkah menunda itu
memang tidak banyak mempengaruhi kehidupan kita? Mari kita baca cerita pengalaman berikut ini.
Saya sudah menulis di blog sejak tahun 2011.
Sekarang sudah tahun 2020. Berapa tahun saya berada diblog tersebut? Ya 9 tahun
sudah saya memiliki blog tersebut. Pada awalnya saya semangat sekali untuk
menulis di blog tersebut. Tetapi semangat saya adalah semangat tahi ayam.
Semangat hanya sesaat di awal. Dapat dibayangkan berapa banyak tulisan saya
yang sudah saya publish di blog ini? Ada yang bisa menebak berapa jumlah
tulisan saya selama 9 tahun berada di
blog? Anda bayangkan jika saya menulis paling tidak 1 tulisan setiap bulan
berarti seharusnya saya sudah menghasilkan 12 x 9 tulisan. 108 tulisan. Tetapi
ternyata sampai di tahun 2020 bulan Oktober saya baru menulis 80 tulisan
yang tentu saja sangat jauh dari kata
artikel ilmiah. Tulisan-tulisan yang saya buat semau saya saja saat itu. Dan
memang tidak masalah yang penting tidak mengandung unsur SARA. Sebagian ditulis
karena mewakili perasaan atau curhatan di media sosial. Dan biasanya ditulis
singkat dan sekenanya.
Apa yang terjadi selama 9 tahun di dalam blog
hanya menghasilkan 80 tulisan curhatan hati. Kalau seperti itu bisa diungkapkan
saja lewat sms atau chat dengan teman kita. Ya hanya satu sebabnya. Karena saya
suka menunda menulis. Saya menunda membaca banyak buku. Saya menunda
menungkapkannya di blog. Mungkin tidak menjadi masalah karena memang tidak ada
yang memaksa untuk menghasilkan sekian tulisan dalam jangka waktu sekian.
Tetapi benarkah tidak masalah? Ada banyak waktu yang terbuang tanpa
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Ketika ide muncul, hanya dibayangkan dan tidak ditulis. Akhirnya ketika
akan menulis lupa apa yang mau ditulis sehingga semangat menulisnya menjadi
down kembali.
Kebiasaan menunda seperti ini ternyata
mempengaruhi kinerja juga. Banyak arsip yang seharusnya ditulis dan tersimpan
rapi dalam file, ambyar berantakan entah dimana. Mungkin sebenarnya ada tetapi
karena jarang dilihat dan digunakan akhirnya terlupakan sampai lupa dimana menyimpannya.
Menulis sebenarnya kan mengumpulkan ide-ide yang didukung oleh
referensi-referensi yang valid dan akuntable. Ketika kita menulis sedang
membuka berbagai banyak file yang sudah kita miliki dan pernah kita baca.
Semakin banyak referensi yang masuk semakin lancar kita mengungkapkan ide-ide
kita. Demikian pula sebaliknya, jika kita tidak pernah atau jarang menulis.
Kita akan stagnan di tempat.
Mungkin akan berbeda jika benar-benar
mengikuti dan memaksakan diri untuk menulis. Pada awalnya barangkali kita tidak
tahu akan menulis apa dan bagaimana. Tetapi bersama dengan berlangsungnya waktu
dengan proses ketekunan dan sedikit paksaan target kita akan dapat berkembang. Kita
bahkan mungkin berkembang tanpa kita sadari sebelumnya. Ternyata kita bisa
menulis. Itu hasil akhirnya.
Itulah yang sedang saya cobakan pada diri saya
sendiri. Mulai bertarget paling tidak saya harus mampu menulis sekitar 500 kata
perhari. Tentang apa? Tentang apa pun. Yang penting saya menulis. Masalah tema yang
belum pas dengan judul. Uraian yang masih berantakan, urutan cerita yang masih
belum menyambung dengan serasi bahkan salah ketik sekalipun coba saya abaikan dulu.
Nanti setelah ide mereda di kepala kita dan sudah dituliskan baru mungkin kita
bisa memperbaiki dan mengedit sebisa kita. Ada waktu tenang untuk membaca kembali
tulisan kita. Mungkin juga kita bisa meminta tolong teman, rekan untuk memberi
masukan atas tulisan kita.
So, sampai di sini masihkah kita mau menunda untuk
menulis yang muncul di kepala kita? Kalau mau terus menunda bersiap kehilangan ide-ide itu. Tetapi jika mau menulisnya segera, selamat Anda
sudah mulai terlepas dari kungkungan yang namanya menunda. Selamat
menulis untuk semua. Salam literasi.
No comments:
Post a Comment