‘Wah ternyata aku bukan yang pertama,’ pikirku ketika sekilas kulihat
wanita itu berdiri di dekat jendela gedung lantai ketiga perpustakaan kampusku.
Padahal aku mengira akulah pengunjung pertama hari ini. Mengingat aku sangat
memburu perpustakaan buka untuk memenuhi tugas kuliahku yang harus diselesaikan
juga hari ini. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Jam baru menunjukkan
pukul tujuh tiga puluh lima
menit. Hebat sekali wanita itu, pikirku menyadari betapa pagi dan cepatnya wanita
itu sudah berada di lantai tiga sepagi ini. Perpustakaan ini buka jam setengah
delapan setiap harinya. Berarti baru lima menit buka. Aku
melihatnya lagi sekilas ke jendela lantai tiga. Wanita itu masih di sana , mungkin masih
melihatku yang sedang memandang ke arahnya. Sekilas kemudian pandangannya
beralih ke bangunan tower yang berdiri tinggi di depan perpustakaan memantulkan
cahaya matahari yang sepertinya enggan bersinar pagi ini. Aku mempercepat
langkahku menuju pintu perpustakaan. Pikiranku diliputi pertanyaan tentang
perempuan yang berdiri di jendela lantai tiga.
Satu hal yang pasti adalah aku sering melihat wanita itu. Tapi di mana
ya? Siapa dia? Aku akrab dengan model rambut dan wajahnya. Tapi mengapa aku
belum juga dapat mengingat siapa dia. Aku menjadi semakin penasaran.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengusikku bercampur dengan rasa penasaranku kubawa
masuk ke lantai tiga. Aneh, mengapa kau begitu penasaran? Ah, ini memang
sifatku. Semakin penasaran semakin ingin tahuku terpicu. Kata teman-temanku aku
sudah ketularan novel-novel Agatha Cristie dan cerita Lima Sekawan. Ah, bodo
amat!
Aku menghela napas sejenak di ujung tangga lantai tiga untuk mengurangi
rasa letih dan menenangkan napasku yang ngos-ngosan karena aku berjalan
tergesa. Kemudian kulangkahkan kakiku ke ruang bagian buku-buku pendidikan,
psikologi dan seni sastra. Ruang di mana kulihat perempuan yang membuatku
penasaran tadi berdiri. Aku menyapa sekilas penjaga perpustakaan yang sudah
kuhafal sekali, Pak Priyanto. Mataku menyusuri daftar presensi sebelum
kugoreskan pena tanda kehadiranku di kolom FBS, Fakultas Bahasa dan Seni,
fakultas di mana aku belajar. Terkejut aku sejenak, ada sedikit takut juga
karena aku ternyata pengisi pertama daftar presensi ini. Ah, kenapa mesti
takut? Kenapa perempuan itu tidak menuliskan namanya di sini? Lupakah ia? Apa
dia termasuk pengurus perpustakaan yang baru di sini yang sedang piket? Rasanya
bukan. Aku hampir hapal semua pengurus perpustakaan ini sampai ke tukang kebun
dan penjaga parkir. Meski aku tidak
mengenal mereka tetapi aku akrab dengan wajah mereka. Dan rata-rata sudah berumur di atas tiga
puluhan. Dan perempuan yang kulihat tadi sekitar dua puluh limaan. Mungkin
kakak tingkat. Sejenak aku ingin menanyakannya pada Pak Priyanto tapi beliau
kelihatan tengah sibuk dengan komputernya dan buku-buku baru. Kuurungkan niatku
untuk menanyakan hal ini. Aku terus saja
melangkah menuju ke deretan rak-rak buku.
Langkahku kuarahkan ke rak buku-buku psikologi. Kuambil beberapa buku
yang kuanggap penting dan mendukung tugas kuliahku. Mataku melirik ke deretan
bangku baca berharap bisa melihat wanita itu. Tetapi aku tidak melihatnya.
Mungkin di antara rak-rak buku yang lain. Mata dan telingaku kufungsikan
maksimal. Badanku tegang menunjukkan kewaspadaan. Jantungku berdetak lebih
cepat terpacu oleh ketakutan yang makin kentara. Kulepaskan batuk agar dadaku
tidak terasa sesak sekaligus mengurangi rasa sepi. Nyaris aku hanya mendengar
langkah kakiku yang bergesekan dengan lantai. Aku tiba-tiba merasa sepi sekali.
Mataku sesekali kuarahkan ke pintu masuk, berharap ada pengunjung lain yang
datang. Tapi sia-sia. Penjaga perpus yang tadi duduk di meja presensi pun tak
kelihatan lagi. Kapan perginya? Ah, gimana sih! Gerutuku kesal.
Aku sengaja memilih bangku paling pojok di sisi kanan. Di sinilah tempat
teraman, yang menurutku paling tepat buat ngendon di perpustakaan ini. Sejenak
kuberhenti di deretan bangku yang menuju ke jendela tempat wanita misterius itu
berdiri. Bangkunya masih rapi. Belum ada yang ditarik keluar, tanda sudah
diduduki. Di mana perempuan yang kulihat tadi ya? Apa sudah pergi begitu aku
masuk? Tapi tak kudengar langkah orang lain selain langkah-langkahku sendiri.
Tanganku menghempaskan buku-buku di tanganku yag cukup berat. Brak! Suara
buku-bukuku menggema di ruangan ini. Kemudian ku tarik kursi kayu untuk
kududuki. Ujungnya berderit. Baru saja aku membuka satu buku dengan serius
untuk mengurangi keteganganku dan mencoba konsentrasi, di belakangku kudengar
suara seorang perempuan mengagetkanku.
“Dik, boleh duduk di sini?” tanyanya sopan sambil menunjuk bangku di
sebelahku. Aku cuma mengangguk terperangah, menyadari wanita inilah yang sejak
tadi menjadi perhatian pikiranku. Aku terus menatapnya. Heran. Tak satu pun
kata terucap dari mulutku.
“I…ya , silahkan Mbak”, aku gugup menjawab. Mengapa aku malah tambah
takut ya? Nggak ada yang perlu ditakutkan. Dia orang yang sopan. Tapi aku tidak
bisa bohong. Sungguh aku takut. “Mbak…, Mbak kok nggak ngisi daftar presensi?
Tanyaku mulai menylidik setelah aku sedikit menguasai ketakutanku.
“Mm… untuk apa?” tanyanya balik. Aku tidak mengerti maksudnya. Barangkali
pura-pura tidak tahu atau sedang malas menulis. Kadang-kadang aku juga
melakukannya. Ya tentu saja kalau sedang tidak ada penjaga di tempat.
Perempuan itu menggeser kursi di sebelahku dan mulai membuka buku di
tangannya. Aku kembali asyik dengan buku-buku di depanku. Suasana kembali sepi.
Kami masing-masing menekuri deretan kalimat di buku depan kami.
“Setiap malam tempat ini begitu sunyi. Tidak seperti keadaan di siang
hari.” Katanya tiba-tiba seperti sedang bicara pada diri sendiri. Aku berpaling
menatapnya. Sebenarnya aku agak terganggu jika diajak ngobrol di perpustakaan
ketika sedang membaca buku seperti saat ini. Jadi tidak konsentrasi. Pojok
ruangan yang biasanya merupakan wilayah aman dari obrolan, sekarang tidak lagi
dengan hadirnya perempuan ini di sebelahku. Aku menghentikan bacaanku dan
menutup buku di depanku. Entah mengapa aku ingin mendengarkannya. Mungkin
karena aku menduga perempuan ini sedang menahan kegalauan dan kesedihan hatinya
pada saat kulihat tadi.
“Ya, emang pada males, Mbak. Apalagi kalau lagi musim ujan, enakan tidur
di kos Mbak”, jawabku menanggapi. Dia tersenyum, memaklumi barangkali.
“Di sini sepi sekali, Dik. Hanya kecoa dan binatang malam yang setia
menemaniku melewati kesunyian malam,” katanya lagi. Kulihat wajahnya sendu. Tak
sengaja aku tertawa mendengar ucapannya. “Puitis sekali, Mbak”, ujarku kemudian
setelah kutahu ia serius mengatakannya. Kukira perempuan ini memang betah sekali
di perpustakaan sampai ia mengungkapkan keadaan perpus ini dengan begitu
puitis. Aku menunggu apa ia marah dengan responku tadi.
Aku masih mengawasinya dengan sudut mataku. Aku menangkap ada yang aneh
pada perempuan ini. Model pakaian yang dikenakannya menurutku terlihat ganjil
di mataku. Aku jarang melihat model seperti itu. Menurutku itu pakaian model
tahun tujuhpuluhan, seperti yang pernah kulihat di film-film lama. Tapi ia
tidak tampak ketinggalan zaman. Malah ia nampak anggun dengan pakaiannya itu.
Tidak seperti bajuku yang berkesan tomboi. Jelana jeans dipadukan dengan kaos
panjang dan kerudung putih di kepalaku. Nggak ada kesan feminim apalagi anggun.
“Aku juga nggak suka tangan-tangan jail yang tidak bertanggung jawab
mencoret dan menyobek bagian-bagian buku di sini”, katanya bernada prihatin.
Aku terhenyak dan tersenyum menyadari aku baru saja melamun.
“Mbak nggak sedang menyindirku kan ?
Tanyaku merasa tersindir. Soalnya aku sering mencoret-coret buku di sini. Iseng
aja dan kadang mengasyikkan. “Asyik lho Mbak. Emang Mbak nggak pernah ya?”
selidikku.
“Ya, aku tahu kau juga pernah melakukannya. Sering mungkin lebih tepat.”
Katanya tenang. Tapi ketenangan itu menghenyakkanku. Dari mana ia tahu semua
yang aku lakukan di sini. “Mbak kok tahu. Mbak penjaga perpus rahasia ya?
Tanyaku penasaran.
Suara-suara mahasiswa yang berdatangan terdengar dari arah pintu masuk
mengalihkan perhatianku. Mataku terarah ke sana . Perempuan yang duduk di sebelahku
bangkit berdiri.
“Mari, dik, waktuku sudah habis. Saya harus pergi”, katanya kepadaku
tanpa menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum mempersilahkan. Ternyata asyik juga
ngobrol dengannya. “Oh ya , namaku Utami. Jangan lupa ya?” ujarnya seperti
mengingatkan bahwa kami belum berkenalan. Ia kemudian berlalu pergi. Sebelum
melangkah terlalu jauh ia menengok ke arahku sejenak. Tersenyum. Aku gugup
karena aku masih memperhatikannya. “Namamu Bella kan ?” tanyanya tiba-tiba yang membuatku
mengangguk kaget. Dari mana ia tahu namaku? Oh ya dia kan selalu mengawasi pengunjung perpus.
Jangankan sebuah nama, hal-hal yang dilakukan pun ia tahu. “Eh, siapa tadi,
Utami? Sepertinya aku tidak pernah mendengar nama itu di kampus. Dari jurusan
apa ya?
“Hai, Bella! Ngapain lu pagi-pagi ngendon di sini?” suara yang sangat ku
kenal mengagetkan dan memutuskan serangkaian pertanyaan yang sedang muncul di
kepalaku. Tita dan Dyani cengar-cengir di samping kanan kiriku. “Bella kamu tuh
baca apa ngelamun sih?” Dyani menimpali. Mungkin ia melihatku lagi
terbengong-bengong tadi.
“Ya baca dong. Kalian tuh ngganggu konsentrasi orang belajar. Pusing nih
sekarang. Tugas belum klar. Ada
apaan ?” tanyaku to the point.
“Gak ada apa-apa. Barusan aku pinjam buku trus iseng ke sini. Ternyata
kamu sudah ngendon duluan. Udahan yuk, kita makan. Aku lapar banget nih. Belum
sarapan nih”, ucap Tita memelas. Dia memang jago makan.
“OK, siapa takut.” Ujarku meniru sebuah iklan sampo di televisi. “Tapi
gimana dong tugasku?”tanyakau ragu sambil membereskan buku-buku yang kuambil
dan kutempatkan di sudut meja. Padahal satu buku pun belum habis aku baca.
“Dah nanti kita kerjakan bareng. Nih kita pakai buku-buku pinjamanku
aja,” Tita menenangkan dengan menunjukkan beberapa buah buku di tangannya.
Kami keluar dari ruangan dan menuruni tangga. Sesekali kami tertawa
mengomentari segala hal yang kami lewati. Itulah kebiasaan kami. Di lantai
dasar suasana sudah semakin ramai. Ruangan ini lumayan sesak oleh pengunjung
baik yang memang mau pinjam dan baca buku atau hanya sekedar nebeng nonton tv.
Kami bergegas ke tempat penitipan tas. Aku keluar duluan. Sambil menunggu
temanku keluar, aku duduk di bawah patung. Patung seorang wanita dengan sikap
sedang membaca buku. Aku terhenyak mengamati patung di sampingku. “Ya
Allah…inikah wanita yang barusan berbicara denganku. Wanita yang berdiri di
dekat jendela lantai tiga…ini rambut dan model pakaian itu…berarti wanita
tadi…Pikiranku saling menghubungkan mencoba membuat analisis.
“Bella, kenapa? Ada
yang hilang atau ketinggalan?” tanya Dyani sambil menatapku cemas.
Aku cuma menggeleng. Inilah ketakutanku yang tadi kurasakan. Aku masih
tetap memandangi patung itu. Tak percaya. Benarkah wanita ini yang menemuiku?
Apakah patung ini ada di tempatnya ketika Utami berbicara denganku? “Mbak
Utami,” ucapku lirih dan ku tersenyum.
“Mbak Utami… Mbak Utami siapa
Bella? Tanya Dyani dan Tita penasaran.
“Nama patung itu,” jawabku ringan. Dan kulihat Tita dan Dyani saling
menatap bengong. Tanpa ba bi bu ditariknya aku keluar dari gedung perpustakaan.
Bobotsari, 23
Desember 2008
For my friends in UNY I miss u all and thanks for the inspiration.
No comments:
Post a Comment