Wednesday 28 June 2023

Kilas Balik Sejarah Ibadah Qurban



 KHUTBAH IEDUL ADHA



اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. 

الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقَهُ الْقُرْآنُ، أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ 


Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,

Pada kesempatan Iedul Adha yang mulia ini, Al Faqir khotib mengajak para jama’ah untuk menyegarkan kembali ingatan tentang peristiwa, riwayat, dan sejarah hari Iedul Adha, Tarwiyah, Arafah, dan Tasyrik di bulan Zulhijah. Di hari bersejarah itulah, hari dimana Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam diuji keimanannya, ditagih nazarnya, dan digoda Syaitan untuk menggagalkan perintah Allah menyembelih putra kesayangannya, yaitu Ismail. Marilah kita menyegarkan kembali ingatan untuk melakukan napak tilas perjalanan spritual Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dan Nabi Ismail ‘Alaihis Salam.

Pada suatu hari, Nabi Ibrahim as menyembelih qurban fii sabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas qurbannya.

“Qurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Perkataan itu terucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam saat Istri beliau, yaitu Siti Sarah, belum juga mengandung seorang anak.

Siti Sarah adalah istri pertama Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Ia merupakan wanita mulia yang melahirkan Nabi Ishaq ‘Alaihis Salam. Sarah dikenal karena kesabarannya yang luar biasa hingga menjadi teladan bagi seluruh wanita Muslim.

Siti Sarah adalah wanita yang berasal dari daerah Babilonia. Siti Sarah memiliki kecantikan yang luar biasa dan termasuk wanita yang paling taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Salah satu sifat mulia yang dimiliki Sarah adalah dermawan dan pemurah. Kedermawanannya selalu terlihat ketika sedang menjamu tamu. Ia selalu memberikan jamuan istimewa kepada tamu-tamunya.

Sarah juga dikenal sebagai wanita yang cerdas dan sabar. Karena itu, ia dipilih Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam sebagai pendampingnya saat berda’wah sejak di  Babilonia hingga Palestina.

Meskipun pernikahannya dengan Nabi Ibrahim berjalan sangat lama, bukan berarti perjalanan rumah tangganya berlangsung tanpa ujian dari Allah. Salah satu ujian terhadap rumah tangga Nabi Ibrahim adalah bahwa meski telah menikah hampir selama 80 tahun, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dan Sarah tak kunjung dikarunia keturunan.

Meskipun belum ada tanda-tanda kehamilan pada diri Sarah dan secara fisik Sarah sudah menua dan secara medis tidak mungkin bisa hamil, Nabi Ibrahim dan Sarah tidak bosan memanjatkan do’a kepada Allah

Do’a nabi Ibrahim dan Sarah diabadikan dalam Al Qur’an:


رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ



“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ash Shaffat ayat 100)

Sarah semakin merasa dirinya sudah tua, rambutnya mulai berwarna putih, dan tulang-tulangnya sudah lemah. Keadaan tersebut membuat Sarah gelisah sehingga menawarkan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam untuk menikah kembali.

Awalnya tawaran tersebut ditolak oleh Nabi Ibrahim. Namun kemudian, Nabi Ibrahim menerimanya dengan syarat bahwa Sarah yang harus memilih calonnya.

Sarah kemudian menawarkan Siti Hajar kepada Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Siti Hajar merupakan seorang budak yang ia kenal dengan baik. Tidak lama setelah menikah, Hajar hamil dan lahirlah seorang putra kesayangan.

Karena demikian lamanya kehadiran seorang anak dinantikan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, anak itu diberi nama Ismail, artinya “Allah telah mendengar” sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra. Seolah Ibrahim berseru, “Allah telah mendengar dan mengabulkan do’aku.”

Dua belas tahun setelah Ismail lahir, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kehamilan untuk Sarah dalam usia yang sudah tua. Kemudian, Sarah melahirkan seorang putra dari rahimnya yang kelak menjadi nabi, yakni Ishaq ‘Alaihis Salam.

Salah satu bentuk perhargaan kepada Sarah atas kesabarannya menanti keturunan diabadikan dalam Al Qur’an pada surat Al Ankabut ayat 26-27 yang berbunyi:

فَاٰمَنَ لَهٗ لُوْطٌۘ وَقَالَ اِنِّيْ مُهَاجِرٌ اِلٰى رَبِّيْ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ وَوَهَبْنَا لَهٗٓ اِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَجَعَلْنَا فِيْ ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتٰبَ وَاٰتَيْنٰهُ اَجْرَهٗ فِى الدُّنْيَا ۚوَاِنَّهٗ فِى الْاٰخِرَةِ لَمِنَ الصّٰلِحِيْنَ


“Maka, Luth membenarkan (kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan) oleh Tuhanku. Sungguh, Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Yaqub, dan Kami jadikan kenabian dan kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di akhirat, termasuk orang yang saleh.”

Kemudian, di Baitullah, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mendapatkan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Perintah ini dijelaskan dalam Surat al-Hajj Ayat 26 dan tafsirnya.


وَاِذْ بَوَّأْنَا لِاِبْرٰهِيْمَ مَكَانَ الْبَيْتِ اَنْ لَّا تُشْرِكْ بِيْ شَيْـًٔا وَّطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْقَاۤىِٕمِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ


“(Ingatlah) ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan berfirman), ‘Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apapun, sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang thawaf, mukim (di sekitarnya), serta rukuk (dan) sujud’." (QS Al-Hajj: 26)


Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menerima mandat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengasingkan istri tercintanya, Hajar, dan sang bayi yang amat ia sayangi, Ismail. Berbekal tekad yang kuat, ketiganya bertolak dari Palestina menuju Ka’bah, menembus padang pasir dan teriknya matahari yang begitu menyengat. 

Sejak keberangkatannya dari Palestina, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam tidak memberitahu Hajar ke mana tujuan perjalanannya dan Hajar pun tidak bertanya ada hajat apa. Sang suami hanya tahu bahwa itu mandat dari Allah, sementara sang istri hanya memahami bahwa itu perintah suami yang harus ditaati, tanpa protes sepatah kata pun. 

Setibanya di Makkah, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam segera meninggalkan istri dan anaknya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Betul-betul sepi dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ibrahim hanya membekali mereka beberapa biji kurma dan air secukupnya. 

Setelah berhasil menguatkan diri, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam bertolak untuk pulang dan tak sedikit pun menoleh ke arah Hajar. 

“Hai Ibrahim, hendak ke mana engkau? Akan kah kau tinggalkan kami berdua di lembah tak berpenghuni dan sunyi ini?” kata Hajar heran sambil mengejar suaminya. 

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam tak kuasa menjawab pertanyaan dari istrinya. Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam hanya bisa diam dan berusaha terus melangkah. Hingga tiga kali Hajar bertanya, “Hendak kemana engkau?”, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam tak kuasa menjawab walau hanya dengan sepatah kata.

Sebagai istri yang shalihah dan cerdas, Hajar mengubah pertanyaan, “Apakah Allah yang memerintahkanmu?” 

“Betul,” jawab Ibrahim singkat. 

“Baiklah. Kalau begitu, Allah tidak mungkin membuat kami sengsara,” timpal Hajar meneguhkan. Hajar pun kembali ke tempat semula. 

Sesampainya di tikungan, Ibrahim menoleh ke tempat ia meninggalkan istri dan anaknya dan berdo’a agar kedua orang yang ia sayangi itu selalu berada dalam ketaqwaan, tetap dijaga oleh Allah, dan diberi kecukupan rezeki (QS. Ibrahim [14]: 37).


رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ


“Yaa Tuhan kami...! Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Yaa Tuhan kami...! (Yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”


Ibunda Hajar tidaklah berpangku tangan ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menempatkannya di sebuah lembah tanpa tetumbuhan sebatangpun. Ia telah memastikan bahwa suaminya melakukan hal tersebut atas perintah Rabb-nya hingga Ibunda Hajar semakin yakin bahwa dirinya selalu dibersamai Tuhannya.  Bersama bayi Ismail, ia mulai memaksimalkan usaha, do’a, dan kecerdasan untuk menghadapi tantangan.


Perjuangan Ibunda Nabi Isma’il

Sekantung kurma dan seqirbah air pemberian Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam telah habis. Bayi Ismail meronta karena haus dan lapar. Ibunda Hajar pun menunjukkan perjuangan, kegigihan, juga keyakinannya bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan menzhalimi hamba-Nya. Ibunda Hajar menyambut jaminan rizqi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan usaha kerasnya. Ibunda Hajar berusaha mencari air di bawah terik matahari dan di atas hempasan pasir gurun. Ibunda Hajar harus menemukan air, atau bertemu seseorang yang dapat dimintai pertolongan. Wanita itu naik ke bukit Shafa dan menyapu pandang. Tak seorangpun tampak di seluruh penjuru, dan tak ada air setitikpun. Kembali ia turun, bersegera menuju bukit Marwa, namun hasilnya sama.

Begitulah, Ibunda Hajar terus berlari antara Bukit Shafa dan Bukit Marwa. Ibunda Hajar sangat yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usahanya. Pada titik yang telah ditetapkan, Allah berkenan memancarkan air yang melimpah lewat hentakan kaki mungil bayi Ismail ‘Alaihis Salam. Ibunda Hajar sangat bersyukur karena Allah memancarkan air di dekat kaki bayi Ismail. Ibunda Hajar kepada kepada air yang memancar, “Zam Zam” (berkumpullah, berkumpullah).

Sejenak, Sang Ibu dan juga Sang Anak terlepas dari dahaga. Tetapi, Ibunda Hajar menyadari bahwa manusia tak cukup hidup hanya dengan air.

Maka, tantangan selanjutnya adalah Sang Ibu harus mengubah air menjadi semua kebutuhan hidupnya. Ibunda Hajar pun berbicara dengan para kafilah yang lewat untuk bertukar barang dengan air. Hal tersebut merupakan bentuk diplomasi tingkat tinggi dengan orang-orang asing yang tak ia ketahui kebaikan dan kejahatannya. 

Beberapa waktu kemudian, ramailah lembah itu. Orang-orang tertarik singgah dan beberapa orang mulai menetap. Perkampungan baru pun terbentuk.

Mekkah bertambah ramai dan makin ramai hingga datanglah tantangan ketiga: Hajar harus menjamin agar mata air Zam Zam tidak diperebutkan para qabilah dan memicu peperangan sebab sumber air di tengah gurun adalah harta termahal yang sangat mungkin memicu penguasaan. Hajar mengendalikan tatanan kehidupan, juga mewarnai peradaban. Hajar, seorang perempuan yang sungguh telah berpengaruh, menyumbang jasa besar atas berjayanya kota Makkah hingga hari ini.

Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam agar Allah menjadikan tempat yang ditinggali oleh istri dan anaknya yang begitu dia cintai terkabul.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ



"Yaa Tuhanku...! Jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizqi dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari kemudian di antara mereka. Allah berfirman, ‘Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali’." (QS. Al Baqarah: 126)

الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد


Mimpi Malam Tarwiyah

Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam bermimpi adanya seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”

Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah yang berasal dari kata ﯿﺮﻯ←ﺮﺍﻱ(artinya, berpikir atau merenung).

Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi dengan seruan yang sama seperti sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah yang berasal dari kata ﯿﻌﺮﻑ←ﻋﺮﻑ (artinya mengetahui), bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.


Mimpi Malam Nahr

Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut dengan hari menyembelih qurban (yaumun nahr).

Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam bermimpi untuk yang pertama kalinya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam memilih domba-domba gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tapi, tiba-tiba api datang menyantapnya. Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengira bahwa perintah dalam mimpinya sudah terpenuhi.

Untuk mimpi yang kedua kalinya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai qurban. Tapi, tiba-tiba api datang menyantapnya dan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.

Untuk mimpi yang ketiga kalinya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mendengar ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu memberikan yang terbaik untuk kita dan Allah pun meminta kita untuk memberikan pengorbanan yang terbaik seperti kisah yang pernah terjadi pada Habil yang Allah terimanya qurbannya karena Habil memberikan qurban yang terbaik. Sebaliknya, qurban yang diberikan Qabil tertolak karena qurban yang diberikan Qabil bukan qurban terbaik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ


“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran ayat 92)


Untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menemui istrinya, Hajar, terlebih dahulu. Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.

Kemudian, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Iblis mondar-mandir ke sana ke mari.

Setelah gagal membujuk Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, Iblis pun datang menemui ibunda Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.

Tapi, Hajar tak tergoda, lagi-lagi Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail. Maka, Syaitan pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”

“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.

Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata yang lain, Ismail segera memungut sejumlah kerikil dari tanah dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah mata Iblis yang sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.

Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam berterus terang kepada putranya:


فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ 


“Maka, tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai, Anakku...! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ismail menjawab, ‘Hai, Bapakku...! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).


Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya. 

Untuk melaksanakan perintah Allah pada ayahnya,  Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai, Ayah...! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun karena itu bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihat percikan darahku, tentu ibu akan turut berduka.”

“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera di leherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu, bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada  ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai, Ibu...! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah’.”

“Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga semakin menambah belasungkawa ibu padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulkan rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma’il.

Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah engkau, wahai putraku tercinta!” 

Kemudian, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.

Ismail berkata, “Wahai, Ayah...! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat mengetahui bahwa diriku taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam menjalankan perintah semata-mata karena-Nya.”

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaga. Namun, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menghujamkan pedangnya ke arah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.

Atas izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘Jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ 


“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106-107)


Menurut satu riwayat, Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah diqurbankan oleh Habil dan domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menggoreskan pedangnya ke leher putranya.

Pada saat itu juga, semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) untuk mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran Nabi Ibrahim dan putranya Ismail dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”.

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. 

Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. 

Kemudian, bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya Qurban (Idul Adha)

No comments:

Post a Comment

Anak-anak yang Lebai

 Celotehan akar rumput  Assalamuallaikum warahmatulahi wabarakatuh  Bismillahirrahmanirrahim  ANAK-ANAK YANG LEBAY (M. Fauzil Adhim) Kelak a...